Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, menyatakan dasar hukum usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden RI oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI cukup kuat. Namun, proses pemakzulan kepala pemerintahan memiliki persyaratan ketat.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengajukan surat pemakzulan Gibran ke DPR-MPR karena Gibran dianggap melanggar prinsip hukum, etika publik, dan konflik kepentingan. Hal ini terkait perubahan batas usia capres-cawapres melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai menimbulkan kegaduhan.
Mahfud menjelaskan, Pasal 7A hasil amandemen UUD 1945 menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan jika terbukti melanggar enam hal; lima merupakan pelanggaran hukum, dan satu terkait keadaan darurat. Ia memuji cara Forum Purnawirawan yang elegan, menyampaikan usulan melalui jalur resmi.
Syarat Pemakzulan Kepala Pemerintahan
Mahfud menekankan perlunya memenuhi syarat-syarat pemakzulan. Lima syarat berkaitan dengan pelanggaran hukum, dan satu lagi terkait keadaan. Pemakzulan bukan proses yang mudah, mengingat hukum juga merupakan produk politik.
Syarat pelanggaran hukum meliputi: pengkhianatan terhadap negara, Pancasila, atau NKRI; terlibat korupsi atau penyuapan; kejahatan berat (ancaman hukuman 5 tahun atau lebih); perbuatan tercela yang merendahkan martabat; dan keadaan darurat.
Mahfud memberikan contoh pemakzulan Perdana Menteri Thailand karena mengikuti lomba masak. Hal ini dianggap perbuatan tercela bagi seorang kepala pemerintahan, karena tidak etis berkompetisi memperebutkan hadiah dengan masyarakat.
Sedangkan, syarat keadaan merujuk pada sakit berat atau pengajuan pengunduran diri. Interpretasi syarat-syarat ini sangat bergantung pada konteks politik dan bisa berubah seiring waktu.
Sejarah Pemakzulan di Indonesia
Pengalaman Indonesia dalam pemakzulan Presiden Soeharto dan Gus Dur menunjukkan betapa mudahnya proses tersebut dapat terjadi. Hal ini kemudian mendorong adanya aturan yang mempersulit pemakzulan guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Aturan yang lebih ketat diharapkan dapat mencegah proses pemakzulan yang sembarangan dan menjaga stabilitas politik. Namun, mekanisme yang ketat ini juga berpotensi menghalangi akuntabilitas pemimpin.
Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara mekanisme pemakzulan yang ketat dan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan akuntabilitas dan stabilitas politik nasional.
Opini dan Analisis Tambahan
Usulan pemakzulan Gibran ini memicu perdebatan publik terkait batas kewenangan lembaga negara dan interpretasi konstitusi. Perdebatan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Perlu ditekankan bahwa proses pemakzulan harus berbasis pada fakta dan bukti hukum yang kuat, bukan sekedar opini atau tekanan politik. Transparansi dan keadilan sangat penting dalam proses ini untuk menjaga kepercayaan publik.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya etika dan moralitas dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya harus mematuhi hukum, tetapi juga menunjukkan tingkah laku yang teladan dan menjaga martabat jabatannya.
Terakhir, penting untuk memperhatikan dampak sosial dan politik dari proses pemakzulan. Proses yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan instabilitas dan kerusuhan sosial.
Oleh karena itu, semua pihak perlu berperan untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari tindakan yang dapat memicu konflik.
Tags
Editor: [Nama Editor]