Bolivia tengah bergelut dengan krisis ekonomi yang telah memicu keresahan sosial. Presiden Luis Arce mengungkapkan risiko gagal bayar utang negara jika tidak segera mendapatkan suntikan dana asing baru. Situasi ini mengancam stabilitas ekonomi dan sosial Bolivia di masa mendatang.
Krisis ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kekurangan devisa, kelangkaan bahan bakar, dan kekurangan barang kebutuhan pokok. Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi permasalahan ini, namun tantangannya sangat besar.
Ancaman Gagal Bayar Utang Bolivia
Utang luar negeri Bolivia mencapai angka yang fantastis, yaitu US$ 13,3 miliar atau sekitar Rp 218,02 triliun (kurs Rp 16.393 per USD). Kreditor utama meliputi Inter-American Development Bank, Development Bank of Latin America and the Caribbean (CAF), Bank Dunia, dan China.
Presiden Arce berupaya mendapatkan pinjaman baru sebesar US$ 1,8 miliar (sekitar Rp 29,50 triliun) dari lembaga multilateral. Namun, upaya ini terhambat karena belum mendapatkan persetujuan dari parlemen.
Kebutuhan dana mendesak Bolivia mencapai US$ 2,6 miliar (sekitar Rp 42,62 triliun) pada Desember mendatang. Dana tersebut dibutuhkan untuk membiayai impor bahan bakar dan pembayaran utang luar negeri. Tanpa dana tersebut, risiko gagal bayar semakin besar.
Presiden Arce menilai kebijakan utang Bolivia selama ini tidak menguntungkan. Pembayaran pokok dan bunga utang hanya diimbangi dengan pinjaman baru, sehingga tidak ada kemajuan berarti dalam mengurangi beban utang. Kondisi ini menciptakan siklus hutang yang berbahaya.
Dampak Krisis Ekonomi terhadap Bolivia
Utang Bolivia mencapai lebih dari 37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut, menurut data Bank Dunia. Angka ini menunjukkan beban utang yang sangat berat bagi perekonomian Bolivia.
Terakhir kali Bolivia mengalami gagal bayar utang adalah pada tahun 1984. Pemerintah saat ini berupaya keras untuk menghindari pengulangan sejarah kelam tersebut.
Di tengah krisis ekonomi yang berat, Presiden Arce menolak desakan untuk mengundurkan diri. Ia tetap berkomitmen untuk memimpin Bolivia keluar dari krisis ini.
Namun, popularitas Arce merosot tajam, dengan tingkat persetujuan hanya 9%, salah satu yang terendah di Amerika Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemampuannya untuk memimpin negara melewati krisis ini.
Bolivia, dengan populasi 12 juta jiwa dan mayoritas penduduk asli, merupakan salah satu negara termiskin di Amerika Selatan. Ironisnya, negara ini kaya akan sumber daya alam seperti gas dan litium.
Peringatan Bank Dunia tentang Utang Negara Berkembang
Bank Dunia memperingatkan bahwa perang dagang berisiko memperburuk lonjakan utang dan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Hal ini semakin mempersulit upaya Bolivia dalam mengatasi krisis ekonominya.
Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara berkembang melambat secara signifikan. Pertumbuhan perdagangan global diperkirakan hanya 1,5%, jauh di bawah pertumbuhan 8% pada dekade 2000-an.
Aliran portofolio ke pasar berkembang dan investasi asing langsung (FDI) juga berisiko menurun. FDI yang semula mencapai 5% dari PDB kini hanya 1%, menunjukkan melemahnya kepercayaan investor terhadap negara-negara berkembang.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8% pada tahun 2025, turun 0,5 poin persentase dari perkiraan sebelumnya. Situasi ini menambah beban bagi negara-negara berkembang yang sudah terbebani utang.
Gill memprediksi setengah dari sekitar 150 negara berkembang berisiko gagal bayar utang. Angka ini dua kali lipat dari tahun 2024 dan berpotensi meningkat jika ekonomi global terus melambat.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi negara-negara pengekspor komoditas seperti Bolivia yang sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi global. Kemampuan negara-negara berkembang untuk membayar kewajiban utangnya akan semakin teruji.
Krisis ekonomi di Bolivia menjadi cerminan permasalahan yang lebih besar di negara berkembang. Beban utang yang tinggi dan perlambatan ekonomi global mengancam stabilitas ekonomi dan sosial banyak negara. Solusi jangka panjang yang komprehensif dibutuhkan untuk mengatasi krisis ini dan mencegah terjadinya krisis serupa di masa mendatang.