Pemerintah Indonesia gencar mendorong pemerataan pembangunan dan penyebaran industri di seluruh wilayah negara. Upaya ini diwujudkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Perindustrian (R-Permenperin) tentang Kawasan Industri Tertentu (KIT).
Rancangan Permenperin ini bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan pengembangan kawasan industri dengan karakteristik unik, terutama yang menghadapi kendala keterbatasan lahan atau yang berfokus pada tema spesifik. Konsultasi publik telah dilakukan di Batam, Kepulauan Riau, sebagai bagian dari proses penyusunan regulasi ini, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (Ditjen KPAII) Kemenperin, Tri Supondy, menekankan pentingnya perwilayahan industri sebagai strategi pembangunan sektor industri nasional. Industri manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, dan pertumbuhannya yang stabil selama lima tahun terakhir (kisaran 4-5% per tahun) serta kontribusi konsisten di atas 16% terhadap PDB nasional (mencapai 17,50% pada kuartal I 2025) membuktikan hal ini.
Pengembangan kawasan industri mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) hingga 2035. RIPIN mencakup pembentukan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI), Kawasan Peruntukan Industri (KPI), serta pembangunan Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM). Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, semua aktivitas industri harus berada di dalam kawasan industri.
Kawasan Industri Tertentu (KIT): Solusi untuk Pengembangan Industri yang Lebih Inklusif
Hingga Mei 2025, sebanyak 170 perusahaan kawasan industri telah mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI), dengan total lahan seluas 94.841 hektare dan tingkat keterisian 59,52%. Rancangan Permenperin KIT difokuskan pada arahan yang lebih spesifik tentang pengembangan kawasan industri dengan luas kurang dari 50 hektare, dalam kondisi tertentu.
Kondisi Khusus Pengembangan KIT
Kondisi khusus ini meliputi pengembangan kawasan tematik, misalnya industri hasil tembakau, hasil laut dan perikanan, tekstil, dan digital. Pembagian wilayah pengembangan juga mempertimbangkan WPPI Jawa dan Luar Jawa. Kebijakan ini juga mempertimbangkan keterbatasan lahan KPI di suatu kabupaten/kota, dan percepatan pembangunan industri di kawasan strategis seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas (KPBPB).
Regulasi ini juga menyediakan mekanisme transisi bagi kawasan industri yang sudah beroperasi sebelum 2015 agar bisa ditetapkan sebagai kawasan industri resmi. Ini penting untuk legalisasi kawasan industri yang sudah ada, khususnya di Batam dan daerah lain dengan kondisi serupa.
Dukungan dari Pihak Swasta
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Akhmad Ma’ruf Maulana, mengapresiasi kebijakan pengembangan kawasan industri di bawah 50 hektare, khususnya di Kepulauan Riau. Ia menilai kebijakan ini fleksibel dan mampu mendorong pertumbuhan industri skala kecil dan menengah.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia Wilayah Kepulauan Riau, Peters Vincent, menambahkan bahwa lokasi strategis Batam yang berdekatan dengan Singapura dan Malaysia, serta infrastruktur pelabuhan dan bandara yang memadai, membuat pengembangan kawasan industri kecil di bawah 50 hektare sangat penting. Hal ini menjawab kebutuhan lahan dan investasi industri kecil dan menengah yang terus meningkat.
Implikasi dan Potensi KIT
Penerapan KIT berpotensi meningkatkan jumlah dan jenis industri di Indonesia, khususnya industri skala kecil dan menengah yang selama ini kesulitan mendapatkan lahan yang cukup. Ini juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah terpencil dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar wilayah. Namun, perlu diperhatikan juga potensi dampak lingkungan dari pengembangan industri, dan penting untuk memastikan bahwa pembangunan industri dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Keberhasilan penerapan KIT juga bergantung pada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan dari pihak swasta. Perlu adanya transparansi dan kemudahan dalam proses perizinan agar investor tertarik untuk berinvestasi di kawasan industri tersebut. Monitoring dan evaluasi berkala juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa KIT mencapai tujuannya.
Secara keseluruhan, R-Permenperin tentang KIT merupakan langkah positif dalam upaya pemerintah untuk mencapai pemerataan pembangunan industri di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan terintegrasi dengan berbagai kebijakan terkait lainnya. Perhatian terhadap aspek lingkungan dan sosial juga harus menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan kawasan industri ini.
Editor: Gita Esa Hafitri