Hari Tasyrik, tiga hari setelah Idul Adha (11, 12, dan 13 Dzulhijjah), merupakan momen penting bagi umat Muslim. Meskipun seringkali dikaitkan dengan makan dan minum, makna dan praktik di balik Hari Tasyrik jauh lebih kaya dan sarat nilai ibadah. Pemahaman yang mendalam tentang Hari Tasyrik akan memperkaya pengalaman spiritual kita.
Makna dan Asal-Usul Hari Tasyrik
Kata “Tasyrik” berasal dari kata “tasyriq” yang berarti “menghadapkan ke arah timur,” mengacu pada terbitnya matahari. Namun, dalam konteks Islam, makna ini berkembang. Mayoritas ulama sepakat Hari Tasyrik adalah tiga hari setelah Hari Nahar (10 Dzulhijjah).
Menurut Imam Nawawi, istilah “Tasyrik” muncul karena kebiasaan umat Muslim zaman dahulu menjemur daging kurban di bawah sinar matahari untuk dibuat dendeng. Proses ini dilakukan setelah penyembelihan hewan kurban pada Hari Nahar. Aktivitas ini mencerminkan upaya pemanfaatan sebaik-baiknya dari hewan kurban.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah hari Tasyrik. Sebagian ulama berpendapat hanya dua hari, yaitu 11 dan 12 Dzulhijjah. Namun, pendapat yang lebih dominan menetapkan Hari Tasyrik sebagai tiga hari, yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Beberapa pendapat lain mengaitkan asal usul nama “Tasyrik” dengan pelaksanaan shalat Idul Adha saat matahari terbit, atau dengan takbir yang dilafadzkan setelah shalat wajib selama hari-hari tersebut. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kekayaan interpretasi dalam memahami ajaran Islam.
Hukum Puasa dan Aktivitas di Hari Tasyrik
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Hari Tasyrik adalah hari untuk makan, minum, dan berzikir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits ini menjadi landasan utama bagi larangan berpuasa di hari Tasyrik.
Larangan berpuasa di hari Tasyrik ditegaskan oleh mayoritas ulama. Larangan ini sebanding dengan larangan berpuasa pada hari yang diragukan (yaumul syak) menjelang Ramadhan. Hal ini menunjukkan pentingnya menikmati berkah hari raya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, terdapat pengecualian. Jamaah haji yang tidak berkurban (hadyu) dibolehkan berpuasa di hari Tasyrik sebagai pengganti dam kurban. Pengecualian ini menunjukkan fleksibilitas dalam aturan agama sesuai konteks tertentu.
Hikmah dan Makna Spiritual Hari Tasyrik
Hari Tasyrik bukan hanya kelanjutan Idul Adha, tetapi merupakan momen penting untuk menyempurnakan ibadah kurban. Berbagi daging kurban mempererat ukhuwah islamiyah dan rasa kebersamaan.
Selain itu, Hari Tasyrik juga menjadi kesempatan untuk memperbanyak zikir dan mengingat Allah SWT. Larangan berpuasa juga mengandung hikmah, yakni menjauhkan diri dari kesusahan dan menikmati nikmat yang diberikan Allah SWT.
Melalui Hari Tasyrik, Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak selalu berarti menahan lapar dan haus, tetapi juga dapat diwujudkan melalui rasa syukur, berbagi, dan mendekatkan diri pada Allah. Hari Tasyrik menjadi momentum untuk merefleksikan makna kurban yang lebih luas dari sekadar ritual semata. Semoga pemahaman yang lebih mendalam tentang Hari Tasyrik dapat meningkatkan kualitas ibadah dan spiritualitas kita.