Raja Ampat, yang baru saja dinobatkan sebagai Kawasan Geopark Global UNESCO pada September 2023, kini terancam oleh aktivitas pertambangan. Pencabutan izin tambang di beberapa wilayah memang telah dilakukan pemerintah. Namun, ancaman terhadap status geopark ini tetap ada, dan konsekuensinya bisa sangat besar bagi daerah tersebut.
Pemerintah telah mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keempat perusahaan tambang tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham.
Ancaman Pencabutan Status Geopark Global UNESCO
Satu-satunya izin pertambangan yang dipertahankan adalah operasional tambang nikel di Pulau Gag. Pulau ini masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023.
Penting untuk dicatat bahwa Pulau Gag tidak termasuk dalam wilayah Geopark Global UNESCO. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa hanya izin tambang berlabel Kontrak Karya (KK) yang tidak dicabut, yaitu milik PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam.
Meskipun relatif dekat dengan kawasan geopark, aktivitas pertambangan di Pulau Gag tetap menimbulkan kekhawatiran. Ancaman kerusakan ekosistem Raja Ampat, mulai dari pencemaran laut dan penggundulan hutan hingga punahnya flora dan fauna, sangat nyata.
Dampak Pencabutan Status Geopark bagi Raja Ampat
Profesor Azril Azhari, pemerhati kebijakan publik pariwisata dan pencetus ilmu pariwisata di Indonesia, mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, kerusakan di Pulau Gag mengancam status geopark Raja Ampat yang diberikan oleh UNESCO.
Pencabutan status tersebut akan berdampak sangat signifikan. Raja Ampat berpotensi kehilangan pendapatan utama dari sektor pariwisata.
Hilangnya status geopark akan mengurangi minat wisatawan mancanegara. UNESCO akan merekomendasikan bahwa Raja Ampat telah rusak, sehingga akan berdampak negatif terhadap citra daerah tersebut.
Dengan menurunnya jumlah wisatawan, perekonomian lokal akan terpuruk. Masyarakat adat juga akan kehilangan kesempatan mempromosikan budaya dan keindahan alam Raja Ampat kepada dunia.
Kelalaian Pemerintah dan Perlindungan Ekologis
Azril Azhari menyoroti kelalaian pemerintah dalam mengawasi aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat. Pemerintah hanya mengawasi ketat PT Gag Nikel, padahal kerusakan sudah terjadi.
Pernyataan Menteri ESDM yang menganggap Pulau Gag jauh dari kawasan pariwisata dinilai keliru. Menteri ESDM dinilai tidak memahami konsep geopark dan telah melanggar aturan.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperkuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Undang-Undang ini memperkuat larangan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas ≤ 2.000 km².
UU No. 1 Tahun 2014 (Perubahan UU 27 tahun 2007) menegaskan larangan tersebut untuk melindungi kelestarian ekologis dan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Pariwisata bergantung pada tiga pilar: abiotik, biotik, dan sosial budaya. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengancam ketiga pilar tersebut. Tercemarnya laut dan matinya terumbu karang, yang merupakan kekayaan alam terbaik dunia, adalah contohnya.
Pemulihan ekosistem yang rusak membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Generasi mendatang mungkin tidak akan lagi dapat menyaksikan keindahan terumbu karang Raja Ampat seperti yang ada saat ini.
Ke depannya, perlu ada pengawasan yang lebih ketat dan terintegrasi untuk memastikan kelestarian lingkungan Raja Ampat sebagai kawasan geopark sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakatnya. Prioritas pembangunan berkelanjutan harus diterapkan untuk menghindari konflik antara sektor pariwisata dan pertambangan.