Masalah identitas dan rasa tidak aman semakin banyak dialami pria modern. Hal ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang membentuk karakteristik maskulinitas yang sempit dan kaku. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial tersebut seringkali memicu krisis identitas dan rasa tidak aman yang mendalam.
Sebuah studi tahun 2023 dari Personality and Social Psychology Review mengungkapkan bahwa ancaman terhadap status maskulin dapat memicu upaya-upaya untuk memulihkannya. Sayangnya, upaya ini seringkali bermanifestasi dalam bentuk agresi, rasa malu, atau bahkan tindakan menyakiti diri sendiri.
Dua Insecurity Terdalam Pria Modern
Berdasarkan penelitian dan observasi, dua ketidakamanan mendalam yang kerap dialami pria modern adalah ketakutan akan ketidakmampuan membahagiakan pasangan, dan kebingungan tentang definisi “laki-laki sejati”.
1. Ketakutan Gagal Membahagiakan Pasangan
Banyak pria modern dihantui rasa khawatir apakah mereka mampu membuat pasangannya bahagia. Kecemasan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari penampilan fisik hingga kemampuan finansial.
Mereka mungkin membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis, seperti citra pria ideal yang ditampilkan di media sosial atau iklan. Kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pasangan dan anak juga menjadi sumber tekanan yang signifikan.
Persaingan di era digital juga memperparah situasi ini. Kemudahan akses terhadap banyak calon pasangan melalui aplikasi kencan membuat mereka merasa terancam dan tidak aman.
Dampak yang Lebih Luas
Ketakutan ini bukan sekadar masalah personal. Studi dari American Psychological Association (APA) tahun 2020 menunjukkan hubungan antara maskulinitas yang rapuh dengan sikap politik yang agresif dan dukungan terhadap kelompok ekstrem.
Ini membuktikan bahwa rasa tidak aman ini dapat berdampak luas, tidak hanya pada hubungan pribadi tetapi juga pada kehidupan sosial dan politik.
2. Kebingungan Tentang Maskulinitas
Definisi “laki-laki sejati” menjadi semakin kabur di era modern. Konsep maskulinitas tradisional, yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan, keberanian, dan penolakan terhadap hal-hal yang dianggap “keperempuanan”, sudah tidak relevan lagi.
Banyak pria mencari makna hidup dan rasa berguna melalui peran-peran tradisional ini. Namun, dalam lingkungan kerja modern yang banyak didominasi oleh sistem dan teknologi, peran mereka seringkali terasa kurang berarti.
Perasaan tidak dibutuhkan atau bahkan tergantikan oleh sistem, ditambah lagi dengan perbandingan yang tidak sehat dengan pria lain yang dianggap lebih baik, menciptakan rasa tidak aman yang mendalam. Meskipun secara materiil hidupnya stabil, rasa khawatir akan selalu ada.
Dampak Fisik dan Mental Insecurity
Ketidakpastian dan rasa takut memicu reaksi kimiawi di otak, meningkatkan hormon stres (adrenalin dan noradrenalin) serta menurunkan serotonin, hormon kebahagiaan. Kondisi ini, seperti yang dijelaskan dalam Annual Review of Neuroscience, dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental dan fisik.
Beberapa dampaknya meliputi depresi, serangan panik, perubahan suasana hati yang ekstrem, ledakan emosi, hingga road rage. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang lebih serius.
Menciptakan Maskulinitas Baru
Namun, terdapat harapan. Studi dari Personality and Social Psychology Review juga menunjukkan bahwa maskulinitas dapat lebih tangguh jika ekspektasi sosial dikurangi dan jika pria menolak ekspektasi-ekspektasi yang tidak sehat.
Dengan membangun sistem nilai baru yang sesuai dengan realitas kehidupan modern, pria dapat menemukan kembali kepercayaan diri dan kedamaian batin. Mereka perlu mendefinisikan sendiri arti menjadi seorang pria di era sekarang ini, bebas dari tekanan-tekanan sosial yang usang.
Penting bagi pria untuk menyadari bahwa tidak ada satu definisi maskulinitas yang benar. Menemukan identitas dan kekuatan diri sendiri di luar tekanan sosial adalah kunci untuk mengatasi rasa tidak aman dan menjalani hidup yang lebih bahagia dan bermakna.