Ribuan calon jemaah haji furoda Indonesia gagal berangkat ke Tanah Suci pada tahun 2025. Kegagalan ini disebabkan oleh Kerajaan Arab Saudi yang tidak menerbitkan visa haji furoda untuk tahun tersebut.
Kejadian ini menimbulkan keresahan dan kerugian besar bagi para calon jemaah yang telah mengeluarkan biaya hingga miliaran rupiah, serta bagi travel swasta yang mengurus keberangkatan mereka. Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq, mendorong agar mekanisme haji furoda diperjelas dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) untuk melindungi jemaah.
Penyebab Gagalnya Keberangkatan Haji Furoda
Maman Imanulhaq memaparkan beberapa faktor penyebab kegagalan penerbitan visa haji furoda. Pertama, Arab Saudi tidak menerbitkan visa mujamalah, yang merupakan salah satu jenis visa haji furoda.
Kedua, adanya reformasi digital dan penataan penyelenggaraan haji di Arab Saudi berdampak pada proses penerbitan visa. Ketiga, keterbatasan kuota dan hak prerogatif Kerajaan Saudi menjadi kendala utama.
Maman menegaskan bahwa karena keputusan ini merupakan hak prerogatif Saudi, Indonesia tidak dapat melakukan negosiasi. Hal ini ditegaskan dalam keterangannya pada Rabu, 4 Juni 2025.
Haji Furoda: Mekanisme dan Perbedaan dengan Haji Reguler
Menurut UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang PIHU, haji furoda adalah visa haji yang kuotanya langsung dari pemerintah Arab Saudi, tidak bergantung pada kuota resmi pemerintah Indonesia.
Visa ini juga dikenal sebagai visa mujamalah atau haji tanpa antrean. Haji furoda berbeda dengan visa haji reguler dan haji plus.
Jumlah kuota haji furoda tidak tetap dan biasanya perusahaan pemberangkatan haji berhubungan langsung dengan pihak Saudi tanpa melalui pemerintah Indonesia. Sistem ini membuka celah kerentanan bagi jemaah.
Perlu Revisi UU PIHU dan Perlindungan Jemaah
Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, berpendapat bahwa kegagalan keberangkatan ribuan jemaah haji furoda murni merupakan masalah bisnis antara travel dan jemaah. Oleh karena itu, pemerintah tidak sepenuhnya bertanggung jawab.
Namun, Mustolih menekankan perlunya pengaturan yang lebih baik terkait syarat, mekanisme, dan standar pelayanan haji furoda dalam revisi UU PIHU. Tujuannya adalah untuk melindungi calon jemaah dari kerugian.
Maman Imanulhaq sependapat dan menyatakan revisi UU PIHU sangat penting untuk mengatur haji furoda secara rinci. Setiap tahunnya, jumlah jemaah haji furoda cukup banyak, berkisar antara 3.000 hingga 5.000 jemaah.
Revisi UU Haji akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi hak dan keselamatan jemaah furoda. Ini penting untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Permasalahan Pengembalian Dana dan Peran Pemerintah
Maman Imanulhaq juga menyoroti masalah pengembalian dana atau refund bagi calon jemaah haji furoda yang gagal berangkat. Terdapat perbedaan kebijakan antar perusahaan travel.
Beberapa perusahaan menawarkan pengembalian dana penuh, sementara yang lain memberlakukan potongan karena sebagian dana telah digunakan untuk akomodasi. Ada juga yang menyatakan pembayaran hangus.
Komisi Agama DPR akan mendesak transparansi keuangan dari perusahaan travel dan mendorong pemerintah untuk memediasi permasalahan ini. Hal ini penting agar jemaah tidak dirugikan dua kali lipat.
Pentingnya Perhatian Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Haji
Maman meminta pemerintah untuk lebih serius memperhatikan penyelenggaraan haji tahun ini. Perhatian tersebut meliputi berbagai aspek, mulai dari visa haji.
Selain visa, perhatian pemerintah juga harus mencakup kartu nusuk (identitas jemaah di Arab Saudi) dan syarikah (sistem layanan haji). Semua aspek ini saling berkaitan dan mempengaruhi kelancaran ibadah haji.
Pemerintah harus memastikan seluruh dinamika penyelenggaraan haji ditangani dengan baik, termasuk masalah visa, kartu nusuk, syarikah, dan furoda. Keberhasilan penyelenggaraan haji menjadi tanggung jawab bersama.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Perlu adanya kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, travel, dan jemaah untuk memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan lancar dan aman di masa mendatang. Transparansi dan perlindungan hukum bagi jemaah harus menjadi prioritas utama.