Draf Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor/KPTS/M/2025 tentang batasan luas rumah umum tapak dan luas lantai hunian telah memicu perdebatan di kalangan pelaku industri properti. Draf tersebut menetapkan luas bangunan rumah subsidi minimal 25 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi, sementara luas lantai dibatasi 18 hingga 35 meter persegi.
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, menanggapi kontroversi ini. Ia menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan menekan harga jual properti yang terus meningkat akibat mahalnya pembebasan lahan dan biaya konstruksi.
Batasan Luas Rumah Subsidi: Solusi Tekan Harga Properti?
Bambang Ekajaya, mengatakan bahwa kenaikan biaya pembebasan lahan, terutama di kota-kota besar, dan peningkatan biaya konstruksi dalam beberapa tahun terakhir, menjadi faktor utama yang mendorong perlunya solusi untuk menekan harga jual rumah.
Ia melihat niat baik di balik kebijakan ini, yaitu untuk membuat rumah subsidi lebih terjangkau. Dengan mengurangi luas bangunan, secara otomatis harga jual dapat ditekan, setidaknya mencegah kenaikan harga yang lebih signifikan.
Studi Banding dari Kota-Kota Besar di Dunia
Bambang menyarankan studi banding ke kota-kota besar di luar negeri seperti Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, dan Shanghai. Di kota-kota tersebut, hunian dengan luas kecil sudah umum karena harga tanah dan properti yang sangat tinggi.
Contohnya di Hongkong, terdapat hunian yang hanya seluas 10 meter persegi. Hal ini menunjukkan bahwa penyesuaian luas bangunan merupakan salah satu strategi untuk tetap menyediakan hunian terjangkau di tengah harga properti yang melambung.
Perlunya Evaluasi dan Sosialisasi yang Lebih Masif
Bambang mendukung upaya untuk menekan harga properti, namun menekankan pentingnya evaluasi lebih lanjut. Evaluasi ini perlu memastikan bahwa kebijakan tersebut tetap sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar internasional dari WHO, demi kenyamanan penghuni.
Selain evaluasi, sosialisasi yang lebih masif dan tepat sasaran juga diperlukan. Hal ini penting agar masyarakat memahami tujuan dan manfaat kebijakan tersebut.
Desain kreatif juga perlu dikembangkan agar hunian tetap memenuhi kebutuhan dasar meskipun dengan luas yang lebih kecil. Kreativitas dalam desain dapat memaksimalkan ruang dan menciptakan hunian yang nyaman dan fungsional.
Tanggapan Menteri PUPR: Terbuka untuk Masukan
Menteri PUPR, Maruarar Sirait, menanggapi pro dan kontra atas draf Kepmen tersebut. Ia menyatakan bahwa dinamika pro dan kontra adalah hal yang wajar dalam proses penyusunan regulasi.
Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memperluas akses rumah subsidi bagi masyarakat, serta memberikan pilihan desain yang lebih beragam sesuai kebutuhan konsumen.
Kementerian PUPR sangat terbuka terhadap kritik dan saran. Keterbukaan ini diharapkan dapat mendorong diskusi yang lebih transparan dan partisipatif dalam penyempurnaan regulasi.
Kesimpulannya, kebijakan pembatasan luas rumah subsidi bertujuan mulia, yaitu untuk menekan harga properti yang semakin tinggi. Namun, implementasinya memerlukan pertimbangan matang, termasuk evaluasi terhadap SNI dan standar internasional, serta sosialisasi yang efektif kepada masyarakat. Kreativitas desain juga menjadi kunci agar hunian tetap nyaman dan fungsional meskipun dengan luas yang lebih terbatas. Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan ini berpotensi besar untuk meningkatkan aksesibilitas kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.