Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas sebesar 16,6 gigawatt (GW). Hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan target pemerintah untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik berbasis fosil pada tahun 2040.
Pernyataan Presiden mengenai komitmen transisi energi Indonesia di KTT G20 tampaknya bertolak belakang dengan rencana RUPTL ini. Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), menyatakan bahwa porsi energi fosil yang masih besar dalam RUPTL menunjukkan kemunduran dari komitmen tersebut.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan ketidakpastian bagi investor, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan. Kejelasan arah kebijakan energi nasional sangat penting untuk menarik investasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Analisis RUPTL dan Implikasinya
RUPTL mengklaim dominasi energi terbarukan hingga 76%, dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi hijau mencapai 42,6 GW (61%) dan fasilitas penyimpanan listrik (storage) 10,3 GW (15%). Namun, angka ini perlu diteliti lebih lanjut karena termasuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 500 megawatt (MW) pada 2032-2033, masing-masing 250 MW di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Penggunaan teknologi nuklir dalam bauran energi menimbulkan perdebatan tersendiri terkait keamanan dan pengelolaan limbah radioaktif.
Meskipun porsi energi terbarukan signifikan, rencana penambahan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW (24% dari total tambahan kapasitas) tetap menjadi perhatian. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan komitmen transisi energi.
Tantangan dan Solusi
Target pengurangan ketergantungan pada pembangkit energi fosil pada tahun 2040 akan sulit dicapai dengan rencana RUPTL seperti ini. Revisi RUPTL dalam kerangka industrialisasi hijau sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan industri energi terbarukan.
Indonesia perlu fokus pada pengembangan industri rantai pasok energi terbarukan, seperti panel surya, baterai, dan kendaraan listrik. Pengembangan industri ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru.
Kebijakan yang konsisten, termasuk RUPTL yang tidak lagi memasukkan pembangkit berbahan bakar fosil baru, menjadi kunci keberhasilan transisi energi. Hal ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.
Potensi Energi Terbarukan di Indonesia
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, termasuk tenaga surya, angin, hidro, dan panas bumi. Pemanfaatan potensi ini secara optimal dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menciptakan ketahanan energi nasional.
Investasi dalam infrastruktur dan teknologi energi terbarukan perlu ditingkatkan. Pemerintah dapat memberikan insentif dan kemudahan perizinan untuk mendorong investasi swasta di sektor ini. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi sangat penting untuk mempercepat transisi energi.
Selain itu, perlu adanya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya transisi energi dan manfaat energi terbarukan. Meningkatkan kesadaran masyarakat dapat mendorong adopsi energi terbarukan dan mendukung keberhasilan transisi energi.
Kesimpulan
RUPTL 2025-2034 perlu ditinjau kembali agar selaras dengan komitmen transisi energi Indonesia. Peningkatan investasi dan pengembangan industri energi terbarukan, serta kebijakan yang konsisten, menjadi kunci keberhasilan transisi energi menuju masa depan yang berkelanjutan.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari rencana pembangunan pembangkit listrik baru, serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Transparansi dan partisipasi publik penting untuk membangun kepercayaan dan memastikan keberlanjutan kebijakan energi nasional.